Home » » Ketidak pastian MK Dalam Memutus Pemilu Serentak 2019

Ketidak pastian MK Dalam Memutus Pemilu Serentak 2019

Written By Unknown on Jumat, 24 Januari 2014 | 12.25


Ilustrasi (foto: google)
LIBASS - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal 3 ayat 5 UU Pilpres inkonstitusional sehingga pemilu 2019 harus serentak. Padahal lima tahun lalu, MK menyatakan pasal tersebut konstitusional. Mengapa MK plintat-plintut?

Pasal 3 ayat 5 UU Pilpres berbunyi 'Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD'. Pada tahun 2008 pasal itu digugat oleh Hamdan Zoelva dkk dan diputus MK pada 2009.

Putusan 2009 diputus oleh 8 hakim konstitusi yang diketuai oleh Mahfud MD dengan anggota Akil Mochtar, Maruar Siahaan, Maria Farida Indarti, Achmad Sodiki, Abdul Mukhtie Fajar, Arsyad Sanusi dan M Alim.

Dalam putusan itu, Akil Mochtar, Abdul Mukhti Fajar dan Maruarar Siahaan memilih beda pendapat.

Pada 2013, pasal tersebut kembali digugat, kali ini oleh Effendi Gazali. Putusan diketok dua bulan setelah didaftarkan oleh Mahfud MD, selaku ketua merangkap anggota. Duduk sebagai anggota majelis Achmad Sodiki, Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, dan Anwar Usman.

Mahfud MD dan Achmad Sodiki kini telah pensiun dan Akil yang belakangan menjadi Ketua MK ditangkap KPK atas dugaan kasus korupsi. Hakim konstitusi Maria tetap menolak, seperti argumen di 2009.

Meski sudah diputus 2013, putusan itu baru dibacakan pada Kamis 23 Januari 2014.
Berikut penilaian plintat-plintut MK terhadap pasal 3 ayat 5 itu:

2009:

Hal ini merupakan kebenaran bahwa 'the life of law has not been logic it has been experience'. Oleh karena kebiasaan demikian telah diterima dan dilaksanakan, sehingga dianggap tidak bertentangan dengan hukum. Dengan demikian maka kedudukan Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 adalah konstitusional.

2013:

Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

2009:

Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut (Pemilu tidak serentak) merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam pelaksanaannya acapkali menitikberatkan pada tata urut yang tidak logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan.

Pengalaman yang telah berjalan ialah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

2013:

Mahkamah, dalam memaknai ketentuan UUD mengenai struktur ketatanegaraan
dan sistem pemerintahan harus mempergunakan metode penafsiran yang komprehensif untuk memahami norma UUD 1945 untuk menghindari penafsiran
yang terlalu luas, karena menyangkut desain sistem pemerintahan dan
ketatanegaraan yang dikehendaki dalam keseluruhan norma UUD 1945 sebagai
konstitusi yang tertulis.

Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. LIBASS Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger